Langsung ke konten utama

Makalah Landasan Kurikulum



LANDASAN KURIKULUM
MAKALAH
Di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah:
Pengembangan Kurikulum
Dosen pengampu: Silviana Nur Faizah, M.Pd.I
Oleh:
Kelompok 4
Afifatus sa’adah         (151610002)
Dinda lucky novita     (151610011)
Rina Luthfianah          (151610040)
Sabilla irwina safitri    (151610044)

Semester 3


PROGAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH (PGMI)
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM LAMONGAN
2017



KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya yang berjudul “LANDASAN KURIKULUM”
Maksud dan tujuan dari penulisan makalah  ini tidaklah lain untuk memenuhi tugas mata kuliah dasar-dasar pendidikan yang di bina oleh Silviana nur faizah, M.PdI Pada kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada Silviana Nur Faizah, M.PdI selaku dosen yang mengajar mata kuliah Pengembangan Kurikulum serta semua pihak yang telah membantu penyelesaian makalah ini baik secara langsung maupun tidak langsung.
Penulis  menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, karena penulis masih dalam tahap belajar. Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

                            Lamongan, 23 Oktober 2017


                                                                                       Penulis
Kelompok 4















DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................. ii
BAB I  PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................................. 1
C. Tujuan Penulisan................................................................................................... 1
BAB II  PEMBAHASAN
A.    Landasan filosofis.......................................................................................... 2
B.     Landasan Sosiologis....................................................................................... 6
C.     Landasan Psikologis....................................................................................... 7
D.    Landasan Organisatoris.................................................................................. 11
BAB III  PENUTUP
 A.  Kesimpulan......................................................................................................... 14
 B.  Saran.................................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA














BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam pengembangan kurikulum, banyak hal yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan sebelum mengambil suatu keputusan. Apapun jenis kurikulumnya pasti memerlukan landasan/asas-asas yang harus dipegang. Asas-asas tersebut cukup kompleks dan tidak jarang memiliki hal-hal yang bertentangan, karenanya harus menemukan seleksi.
Perkembangan kurikulum dalam suatu Negara, baik di Negara-negara berkembang, Negara terbelakang dan Negara-negara maju bisa dipastikan mempunyai perbedaan-perbedaan mendasar namun tetap ada persamaannya.
Falsafah yang berlainan, bersifat otoriter, demokrasi, sekuler dan religious, akan memberi warna yang berbeda dengan kurikulum yang dimiliki oleh bangsa besangkutan. Begitu juga apabila dilihat dari perbedaan masyarakat, organisasi bahan yang digunakan, dan pilihan psikologi belajar dalam pengembangan kurikulum tersebut. Lebih lanjut akan diuraikan empat asas pengembangan kurikulum tersebut dalam makalah berikut ini.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud landasan filosofis?
2.      Apa yang dimaksud landasan sosiologis?
3.      Apa yang dimaksud landasan psikologis?
4.      Apa yang dimaksud landasan organisatoris?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui landasan filosofis
2.      Untuk mengetahui landasan sosiologis
3.      Untuk mengetahui landasan psikologis
4.      Untuk mengetahui landasan organisatoris






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Landasan Filosofis
Filsafah dalam arti sebenarnya adalah cinta akan kebenaran, yang merupakan rangkaian dari dua pengertian, yakni philein (cinta) dan shopia (kebajikan). Dalam batasan modern, filsafat diartikan sebagai ilmu yang berusaha memahami semua hal yang muncul didalam keseluruhan lingkup pengalaman manusia, yang berharap agar manusia dapat mengerti dan mempunyai pandangan menyeluruh dan sistematis mengenai alam semesta dan tempat manusia di dalamnya. Intinya, manusia merupakan bagian dari dunia.[1]
Pandangan menyeluruh dan sistematis yang diharapkan dapat dikuasai oleh manusia adalah lebih dari sekedar pengetahuan. Barangkali yang dimaksud dengan dikuasai disini adalah pengetahuan itu sendiri, dan juga menemukan adanya kesalinghubungan dan pertalian semua unsur hingga pada akhirnya akan ditemukan adanya unsur kebajikan.
Sebagai induk dari semua pengetahuan (the mother of knowledge), filsafat dapat dirumuskan sebagai kajian tentang:
1.      Metafisika, yakni studi tentang hakikat kenyataan atau realitas
2.      Epistimologi, yakni studi tentang hakikat pengetahuan
3.      Aksiologi, yakni studi tentang nilai
4.      Etika, yakni studi tentang hakikat kebaikan
5.      Estetika, yakni studi tentang hakikat keindahan
6.      Logika, yakni studi tentang hakikat penalaran[2]
Apabila diamati item-item di atas, tampak filsafat mempunyai jangkauan kajian yang sangat luas. Bagi para pengembang kurikulum (curriculum developers) yang memiliki pemahaman yang kuat tentang rumusan filsafat di atas, kemungkinan akan memberikan daar yang kuat pula dalam mengambil suatu keputusan yang tepat dan konsisten. Namun, suatu hal yang perlu diperhatikan oleh pengembang kurikulum adalah, dalam mengembangkan kurikulum, pengembang tidak hanya menonjolkan atau mementingkan filsafat pribadinya, tetapi juga perlu mempertimbangkan falsafah yang lain, antara lain: falsafah Negara, falsafah lembaga pendidikan, dan staf pengajar atau pendidik.
1.      Falsafah bangsa
Setiap Negara di dunia ini, baik Negara berkembang maupun Negara maju, memiliki falsafah atau pandangan pokok mengenai pendidikan. Setiap individu memiliki pandangan tertentu mengenai pendidikan. Setiap individu memiliki pandangan tertentu mengenai pendidikan yang kadang tidak sama dengan pandangan umum. Keberadaan kurikulum adalah untuk memelihara keutuhan dan persatuan bangsa dan Negara. Persoalannya, bagaimana berupaya menyatukan beragam pandangan yang ada pada masyarakat ke dalam satu kerangka pemikiran yang konsisten dalam upaya menyongkong proses pengembangan kurikulum yang dapat disetujui oleh semua kalangan.
Agaknya, memang tidak mudah menciptakan falsafah pendidikan yang dapat di terima semua pihak. Kondisi masyarakat menyangkut suku, agama, golongan, kepentingan politik tertentu, akan turut mempengaruhinya. Namun, bagi bangsa Indonesia, persoalan falsafah pendidikan bukanlah persoalan, mengingat pancasila dan UUD 1945 telah diterima secara resmi menjadi filsafat dan dasar pendidikan nasional. Keberadaan filsafat pancasila telah diterima oleh semua pihak, bahkan tidak bertentangan dengan filsafat pendidikan islam atau filsafat pendidikan (agama) lain.
Keselarasan filsafat pendidikan nasional dengan filsafat pendidikan islam terletak pada tujuan filosofi pendidikan masing-masing. Menurut UU No. 2 Tahun 1989 tentang system pendidikan nasional, tujuan pendidikan adalah menciptakan manusia Indonesia yang beriman, bertaqwa, berbudi pekerti luhur, berakhlak, berketerampilan, bertanggung jawab, kemasyarakatan dan kebangsaan (UUSPN No. 2 Tahun 1989, Bab II Pasal 4). Atau, bertujuan agar potensi agar potensi anak didik berkembang dan menjadi manusia warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3). Kedua UU sisdiknas itu merumuskan manusia yang didambakan dan ingin di bentuk oleh dan melalui pendidikan.[3]
Sementara itu, tujuan filsafat pendidikan islam pada dasarnya sam dengan dasar dan tujuan agama islam. Filsafat pendidikan islam berisi teori umum tentang pendidikan islam yang tercantum dalm Al Qur’an dan Al Hadist. Jadi, tujuan filsafat pendidikan islam adalah mencapai tingkat penciptaan manusia. Tujuan filosofis pendidikan nasional dan pendidikan islam tidaklah saling bertentangan bahkan saling mengisi, mengingat tujuan pendidikan nasional sangat mementingkan persoalan iman, taqwa dan keterampilan sebagaimana halnya dengan tujuan filosofi pendidikan islam, namun tujuan filosofi pendidikan islam bersifat hakiki dan mutlak atas keberadaannya.
Dari pemahaman mengenai dua tujuan (filosofis) pendidikan diatas, dapattlah dimengerti bahwa dalam menentukan (proses) filsafat pendidikan nasional indonesia bukanlah hal yang mudah, ternyata masih banyak lagi aspek lain yang perlu diperhatikan oleh para pengembang (developers), agar keberadaan suatu kurikulum pendidikan nasional memang betul-betul menjadi milik semua pihak.
2.      Falsafah lembaga pendidikan
Pancasila merupakan falsafah nasional yang tegas dan diterima oleh segenap bangsa Indonesia. Dalam konteks pendidikan, pancasila dijadikan pedoman bagi lembaga pendidikan untuk mengembangkan falsafah atau pandangan masing-masing sesuai dengan misi dan tujuan nasional serta nilai-nilai masyarakat yang dilayaninya. Lembaga pendidikan, sebagai contoh UIN/IAIN, mempunyai misi yang merupakan bagian dari system pendidikan nasional, namun tiap UIN/IAIN bisa jadi mempunyai sesuatu yang khas yang ada perbedaannya dengan UIN/IAIN/STAIN di daerah lain.[4]
Falsafah suatu lembaga pendidikan (Universitas, UIN, IAIN, STAIN, Akademik, maupun sekolah) jarang dinyatakan secara jelas, spesifik dan ekplisit dalam bentuk tulisan. Ada juga rumusan falsafah pendidikan yang sangat umum, sehingga dalam memberi arah yang jelas bagi proses pengembangan kurikulum belum memenuhi sasaran yang tepat. Dalam kaitannya dengan rumusan tersebut, Nasution mengungkapkan bahwa dalam merumuskan falsafah lembaga pendidikan secara tertulis, perlu memerlukan komponen-komponen berikut: a. Alasan nasional mengenai eksistensi lembaga pendidikan itu, b. prinsip-prinsip pokok yang mendasarinya, c. nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang dijunjung tinggi dan d. prinsip-prinsip pendidikan mengenai hakikat anak didik, hakikat proses belajar mengajar dan hakikat pengetahuan.
3.      Falsafah pendidik
Adanya pengetahuan tentang falsafah lembaga pendidikan dimana dia betugas menjadi suatu tuntutan pokok. Keberadaan falsafah membuat seorang pendidik di tuntut untuk selalu relevan dengan falsafah yang berlaku, sebagaimana di rumuskan dalam kurikulum yang ditetapkan lembaga pendidikan itu.
Dalam operasional kurikulum, peran pendidik memang sangat penting ia selalu terlibat dan karenanya peran falsafahnya dalam perencanaan, pengorganisasian dan penyampaian pelajaran merupakan suatu hal yang menentukan tercapainya tujuan pendidikan yang dirumuskan dalam kurikulum sekolah bersangkutan akan sangat tidak berarti suatu kurikulum yang baik jika pendidik memiliki falsafah yang berbeda dalam memahami, menafsirkan dan melaksanakan kurikulum tersebut. Jadi, dalam konteks operasional kurikulum, pendidik merupakan pemegang peran utama.
Keberadaan falsafah seorang pendidik memang sangat berpengaruh terhadap proses belajar oleh karenanya, seorang pendidik mesti professional. Pendidik professional secara emplisit selalu menempatkan dirinya untuk menerima dan memikul sebagian tanggung jawab pendidikan yang dipikul orang tua, dan orang tua pun sangat mengharapkan anaknya untuk memiliki pendidikan yang baik dan professional. Nabi bersabda “Barang siapa yang ditanya tentang ilmu kemudian menyimpan ilmunya tidak mau mengerjakan, maka Allah akan mengekang dia dengan kekangan api neraka pada hari kiamat”. (Al Hadist). Keberhasilan anak didik menerima ilmu pengetahuan dan perubahan tingkah laku yang diharapkan orang tua, masyarakat, dan bangsa sangat ditentukan oleh falsafah pendidik terhadap profesinya. Karena itu, dimensi filsafat perlu memperoleh perhatian serius dalam wacana pendidikan nasional.[5]

B.     Landasan Sosiologis
Landasan sosiologi mempunyai peran penting dalam mengembangkan kurikulum pendidikan pada masyarakat dan bangsa di muka bumi ini. Suatu kurikulum pada prinsipnya mencerminkan keinginan, cita-cita tertentu dan kebutuhan masyarakat. Karena itu, sudah sewajarnya kalau pendidikan memerhatikan aspirasi masyarakat, dan pendidikan mesti memberi jawaban atas tekanan-tekanan yang datang dari kekuatan sosio-politik-ekonomi yang dominan. Berbagai kesukaran juga akan muncul apabila kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat, seperti: militer, politik, agama, industri, pemerintah, swasta, ekonomi, dan lain-lain, mengajukan keinginan yang bertentangan dengan kepentingan kelompok masing-masing. Akhirnya, sangat mungkin muncul tekanan dari sumber eksternal, dari negara lain (terutama negara maju), organisasi internal, dan lain-lain. Karena pada dasarnya persoalan pendidikan mempunyai keterkaitan dengan aspek lain: politik, ekonomi dan lain-lain.
Dari sudut pandang sosiologis, dalam sistem pendidikan serta lembaga-lembaga pendidikan terdapat bahan yang memiliki beragam fungsi bagi kepentingan masyarakat yakni:
1.      Mengadakan revisi dan perubahan sosial
2.      Mendukung dan turut memberi kontribusi kepada pembangunan
3.      Membimbing dan mendisiplinkan jalan pemikiran generasi muda
4.      Mendorong dan mempercepat laju kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
5.      Mendidik generasi muda agar menjadi warga negara nasional dan warga dunia
6.      Mengajarkan ketrampilan pokok, misalnya membaca, menulis, dan berhitung
7.      Memberikan ketrampilan yang berhubungan dengan mata pencaharian[6]
Banyak lagi aspek-aspek lain yang turut memberikan pengaruh mengenai apa yang harus dimasukkan ke dalam kurikulum, yakni yang menjadi kebutuhan masyarakat (the need of society), antara lain:
1.      Interaksi yang kompleks antara kekuatan-kekuatan sosial, politik, ekonomi, militer, industri, dan kultural dengan masyarakat
2.      Berbagai kekuatan dominan, sebagaimana diungkapkan di atas, di bagian dunia lainnya yang erat hubungannya dengan negara bersangkutan
3.      Pribadi pimpinan dan yokoh-tokoh yang memegang kekuatan formal dan informal di berbagai lapisan masyarakat.
Berkaitan dengan hal-hal di atas, para pengembang (developers) kurikulum, memiliki tugas atau tanggung jawab untuk:
1.      Mempelajari dan memahami kebutuhan masyarakat sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, peraturan, keputusan, pemerintah, dan lain-lain
2.      Menganalisis masyarakat di mana sekolah berada
3.      Menganalisis syarat dan tuntutan terhadap tenaga kerja
4.      Menginterpretasi kebutuhan individu dalam ruang lingkup kepentingan masyarakat.[7]
Sangat banyak kebutuhan masyarakat yang perlu dipilah-pilah, disaring, dan diseleksi. Agar kebutuhan itu menjadi suatu keputusan dalam pengembangan kurikulum, maka tugas pengembang kurikulum pun sangat kompleks. Menurut Abu Ahamdi dan Nur Uhbiyati (1991: 225) , kompleksnya kehidupanm dalam masyarakat disebabkan karena:
1.      Dalam masyarakat terdapat tata kehidupan yang beraneka ragam
2.      Kepentingan antar-individu berbeda-beda
3.      Masyarakat selalu mengalami perubahan dan perkembangan
Kurikulum sedapat mungkin dibangun dan dikembangkan dengan tetap merujuk pada asas kemasyarakatan sekaligus dengan kebutuhan masyarakat.[8]
C.     Landasan Psikologis
Kontribusi psikologi terhadap studi kurikulum memiliki dua bentuk. Pertama, model konseptual dan informasi yang akan membangun perencanaan pendidikan. Kedua, berisikan berbagai metodelogi yang dapat diadaptasi untuk penelitian pendidikan.(Meggi Ing 1978:29). Definisi kurikulum menurut Kerr (1968) adalah: as all the learning which is planned and guided by the school. Karenanya, sejak awal definisi tentang kurikulum sudah bersifat luas, yang mencakup individu anak didik, antar individu, kelompok dan lain lain. Kemudian kerr juga membagikan kurikulum kedalam empat bagian, yakni: curriculum objectives, knowledge, learning, experiences, and curriculum evaluation dan gambar berikut menunjukan pembagian tersebut
CURRICULUM
                                                             OBJECTIVES


 
     KNOWLEDGE                                                                             CURRICULUM
     EVALUATION

Gambar. Aspek kurikulum menurut Kerr
Bila diperhatikan gambar diatas, tampaknya pembagian tersebut tidak selalu jelas dalam praktiknya, tetapi memberikan suatu kerangka kerja diskusi. Teknik- teknik kerangka tujuan mengarah pada evaluasi yang akurat secara luas berasal dari psychological methodology. Bentuk filosofis dan sosiologis lebih mengarah pada penentuan tujuan akhir (the end-product) yang diharapkan bagi anak didik dalam kurikulum itu. Pengetahuan psikologis akan membantu pengembang kurikulum untuk lebih realistic dalam memilih tujuan, tetapi tidak akan menentukan tujuan apa yang seharusnya.
            Dalam memilih pengalaman belajar yang akurat, psokologi secara umum sangat membantu. Teori – teori belajar, teori kognitif, pengembangan emosional, dinamika group, perbedaan kemampuan individu, kepribadian, model formasi sikap dan perubahan, dan mengetahui motivasi, semuanya sangat relevan dalam merencanakan pengalaman pendidikan (eduacational experience). [9]
            Ketika berusaha mengiluminasi proses pikiran anak didik, ada bebrapa pertimbangan atas hakikat ilmu pengetahuan.[10]
1.      Teori-teori belajar
Untuk merencanakan suatu kurikulum, sangat penting memiliki teori bagaimana pembelajaran ditentukan dan bagaimana kondisi pembelajaran menjadi pembelajaran yang lebih efisien. Berbagai teori psikologi tentang cara belajar, setidaknya secara eksplisit, membuat petunjuk –petunjuk akurat bagi para pendidik untuk dipratikan ke anak didik.
Dalam tradisi ilmiah, pencarian teori digunakan untuk menjelaskan jumlah maksimum fenomena-fenomena dengan jumlah minimal peraturan-peraturan, dan itu merupakan tugas khusus yang sulit dalam menghadapi kompleksitas kesadaran dan tingkah laku manusia. Sebagai pendidik, kita tidak memerhatikan dengan apa sesungguhnya belajar itu, dan kita itu memerhatikan perbedaan diantara anak didik dan juga persamannya. Kita berharap bisa mendapatkan teori-teori psikologi yang membantu kita sebagai pendidik meski tidak secara langsung.
a.       Behaviorisme
Prinsip utama aliran behaviorisme adalah berdasarkan unit belajar. Dalam kondisi kelas, yang dipelopori oleh Pavlov, respons dalam pertanyaan bersifat reflektif, yang mana dalam pekerjaan thorndike dan kemudian skinner, respon tersebut lebih kompleks. Sangatlah cocok dalam laboratorium untuk mencoba mengisolasi “respon tunggal” (single) dan stimuli agar dapat mempelajari hubungan diantara keduannya (meskipun studi semacam ini lebih kompleks dan lebih banyak di text book awal saat studi itu muncul) serta menggunakan organism yang berkapabilitas tidak kurang dari kapabilitas pendidik. Namun dalam mengajar, pendidik dihadapkan dengan jumlah stimulus yang kompleks, simultan, dan tidak dapat diprediksi, sehingga untuk memikirkan suatu kondisi sebagai basis belajar menjadi sesuatu yang terbatas sebagai kita, khususnya ketika kita memerhatikan kesadaran pendidik maupun anak didik.[11]
Dalam program belajar rasional, yang biasanya terwujud dalam program kurikulum bahasa, matematika dan juga membaca. Pendekatan serupa juga digunakan untuk menghindari goncangan pemikiran individu anak didik. Goncangan tersebut bisa berbentuk unit belajar yang bisa menjadi bagian terpisah dengan anak didik atau juga bagian dari unit yang lebih besar yang ia peroleh. Contoh: nama anak didik ini sering menjadi sebuah unit bagi dia, meskipun huruf-huruf yang sama dengan kata lain masih terpisah dalam bentuk bagian-bagian atau potongan. Seorang behavioris melihat anak didik sebagai organisme yang merespon stimulus dari dunia sekitarnya.
2.      Teori gestalt (teori lapangan)
       Kata gestalt tidak sama dengan yang ada dalam istilah bahasa inggris. Gestalt mempunyai arti pattern atau configuration. Awalnya teori presespsi dikembangkan untuk pembelajaran, khususnya untuk pemecahan masalah (problem solving). Gambaran umumnya adalah bahwa bentuk itu menggambarkan perhatian pembawaan lahir dan mempelajari pengaturan proses yang kita miliki, ketimbang kondisi respon yang bersifat eksternal.
      Teori gestalt sangat mementingkan anak didik dalam proses belajar mengajar. Individu merupakan sentral dalam proses belajar bukan sekedar akumulasi ilmu pengetahuan, yakni menambah suatu segmen pengetahuan kepada pengetahuan yang telah ada.
3.      Teori psikologi daya
Penganut teori psikologi daya berpandangan bahwa belajar merupakan mendisiplinkan dan menguatkan daya mental, terutama daya piker, melalui latihan mental yang ketat, dapat dicontohkan bahwa jika otak telah dikembangan melalui studi matematika klasik dan humaniora anak didik akan mampu berpikir rasional sehingga memudahkan proses belajar pada bidang studi yang lain. Jadi , yang menjadi focus utama ialah cara mempelajari materi pelajaran yang sulit, seperti matematika dan bahasa klasik, agar mendisiplinkan dan mengembangkan proses mental.
4.      Teori pengembangan kognitif
Menurut teori ini, kematangan mental tumbuh secara bertahap pada anak didik sebagai follow-up dari interaksinya dengan lingkungan. Anak didik mesti dibimbing dengan teliti bahan belajarnya harus seimbang dengan tingkat perkembangan kognitifnya, dan perlu didorong agar mereka maju kearah tingkat perkembangan selanjutnya.[12]
Ada empat tahap dalam perkembangan kognitif intelektual,yaitu:[13]
1.      Tahap Senso maxoris (0-2)
Bayi mulai mengenal lingkungan sekitarnya dengan alat indranya (penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan, dan peradaban).
2.      Tahap pra-operasional (2-6)
Lingkungan dikenalnya melalui lambang (warna, bentuk, gambar, dll)
3.      Tahap operasional konkret (6-12)
Logika mulai berkembang. Kesimpulan yang diambil berdasarkan logika ketimbang persepsi sederhana
4.      Tahap operasional format (12 tahun keatas)
Sanggup berpikir abstrak, serta mulai membentuk hipotesis bdan menguji sesuatu dengan eksperimen dalam proses belajar maupun dalam krhidupan sehari-hari.[14]
D.    Landasan Organisatoris
Herbert Spencer, lebih seperempat abad yang lalu, pernah menyatakan bahwa: What knowledge is of most morth (pengetahuan apa yang paling bernilai)? Pengetahuan yang bernilai itu akan berarti bila mampu menentukan bahan yang serasi dengan anak didik, setelah melalui proses penyeleksian dari bahan pengetahuan sangat luas yang berkembang dari waktu ke waktu secara pesat.
Keadaan masyarakat senantiasa berubah dan mengalami kemajuan pesat, sehingga tentu akan memberi beban baru bagi pengembang kurikulum (curriculum developers), yang berperan sebagai pembuat keputusan (decision makers) dan memilih terhadap apa yang harus diajarkan kepada siapa. Dalam hubungan ini, Nasution menyatakan bahwa ada 2 masalah pokokyang harus dipertimbangkan, yakni:
1.      Pengetahuan apa yang paling berharga untuk diberikan bagi anak didik dalam suatu buidang studi
2.      Bagaimana mengorganisasi bahan itu agar anak didik dapat menguasainya dengan sebaik-baiknya.
Kalau diperhatikan secara seksama, yang paling berwenang memecahkan masalah adalah para spesialis dalam disiplin ilmu bersangkutan, dengan persyaratan para spesialis itu selalu mengikuti perkembangan ilmunya, dan tentunya harus memahami asas filosofis, sosiologis, dan psikologis dalam mengambil keputusan. [15]
Sementara itu, para pengembang kurikulum mempunyai tugas untuk membantu mereka (para spesialis) agar memahami sepenuhnya akan tugas mereka dalam menentukan pengetahuan paling berharga tersebut. Pendekatan yang paling baik kemungkinan adalah dengan membentuk tim yang diketahui ahli pengembang kurikulum yang juga memiliki pengetahuan yang memadai mengenai bidang studi tersebut.[16]
Kemudian, masalah selanjutnya adalah tentang organisasi bahan yang juga tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan. Nasution mengemukakan bahwa ada bermacam cara dalam mengoganisasikan bahan bagi keperluan pengajaran. Salah satu caranya adalah dengan mengorganisasikan bahan berdasarkan topik, tema, kronologi, konsep, isu, logika, dan proses disiplin. Agar lebih jelas dapat dilihat contoh berikut:
           
No
Organisasi bahan berdasarkan
Contoh
1
Topik (biasanya digabungkan dengan salah satu pendekatan lainnya atau dibagi dalam sejumlah sub topik)
Perang kemerdekaan
2
Tema
Sebab-sebab perang kemerdekaan
3
Kronologi
Tahap-tahap perang kemerdekaan
4
Konsep
Kemerdekaan
5
Isu
Pengaruh perang kemerdekaan terhadap watak bangsa indonesia
6
Logika
Analisis peristiwa-peristiwa yang mengandung atau mengahambat tercapainya pengakuan de jure atas kemerdekaan Indonesia.
7
Proses disiplin
Pandangan tentang perang  kemerdekaan oleh ahli sejarah Indonesia? Ahli sejarah Belanda? Amerika Serikat? Proses dan instrumen apakah yang digunaka? Dan lain-lain.

Disamping pendekatan organisasi, bahan pelajaran yang dipilih dengan serasi tersebut mempunyai tujuan dan sasaran kurikulum yang pada dasarnya disusun dari yang sederhana kepada yang kompleks, dari yang kongkret kepada yang abstrak, dan dari yang ranah (domain) tingkat rendah kepada yang lebih tinggi, kognitif, afektif, maupun psikomotorik.
            Sebagai konklusi dari uraian asas organisatoris tersebut, ada 3 hal utama yang perlu diperhatikan, yakni:
1.      Tujuan bahan pembelajaran
Mengajarkan keterampilan untuk masa sekarang atau mengerjakan keterampilan untuk keperluan masa depan, untuk membantu siswa dalam memecahkan masalah, untuk mengembangkan nilai-nilai, untuk mengembangkan ciri ilmiah, untuk memupuk jiwa warga negara yang baik.
2.      Sasaran bahan pelajaran
Siapakah pelajar itu, apakah latar belakang pendidikan dan pengalannya, sampai dimanakah tingkat perkembangannya, bagaimanakah profil kepribadian dan motivasinya.
3.      Pengorganisasian bahan
Bagaimana bahan pelajaran diorganisasi: apakah berdasarkan topik, konsep, kronologi, dan lain-lain.
Pemahaman mengenai asas-asas tersebut bagi para pengembang kurikulum sangat penting dalam menghasilkan suatu kurikulum sangat penting dalam menghasilkan suatu kurikulum yang diharapkan. Karenanya, menurut Adiwikarta (1994: 101), mereka (para pengembang dan pelaksana kurikulum) perlu memerhatikan 3 kecenderungan, yakni: kekinian dan kedisinian, kemasa-depanan, dan kepentingan satuan pendidikan. Pertanyaan yang memerlukan jawaban bagi sitem pendidikan suatu bangsa adalah bagaimana mengembangkan dan melaksanakan kurikulum agar kepentingan nasional, keadaan dan kebutuhan lingkungan, ciri khas satuan pendidikan, serta kepentingan masa depan anak didik dan masyarakat dapat dipenuhi.[17]

















BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Sebagai induk dari semua pengetahuan (the mother of knowledge), filsafat dapat dirumuskan sebagai kajian tentang: Metafisika, Epistimologi, Aksiologi, Etika, Estetika, dan Logika. Namun, suatu hal yang perlu diperhatikan oleh pengembang kurikulum adalah, dalam mengembangkan kurikulum, pengembang tidak hanya menonjolkan atau mementingkan filsafat pribadinya, tetapi juga perlu mempertimbangkan falsafah yang lain, antara lain: falsafah Negara, falsafah lembaga pendidikan, dan staf pengajar atau pendidik.
Asas sosiologi mempunyai peran penting dalam mengembangkan kurikulum pendidikan pada masyarakat dan bangsa di muka bumi ini. Suatu kurikulum pada prinsipnya mencerminkan keinginan, cita-cita tertentu dan kebutuhan masyarakat. Karena itu, sudah sewajarnya kalau pendidikan memerhatikan aspirasi masyarakat, dan pendidikan mesti memberi jawaban atas tekanan-tekanan yang datang dari kekuatan sosio-politik-ekonomi yang dominan.
Kontribusi psikologi terhadap studi kurikulum memiliki dua bentuk. Pertama, model konseptual dan informasi yang akan membangun perencanaan pendidikan. Kedua, berisikan berbagai metodelogi yang dapat diadaptasi untuk penelitian pendidikan. Definisi tentang kurikulum bersifat luas, mencakup individu anak didik, antar individu, kelompok dan lain lain. Kemudian kerr juga membagikan kurikulum kedalam empat bagian, yakni: curriculum objectives, knowledge, learning, experiences, and curriculum evaluation.
Keadaan masyarakat senantiasa berubah dan mengalami kemajuan pesat, sehingga tentu akan memberi beban baru bagi pengembang kurikulum (curriculum developers), yang berperan sebagai pembuat keputusan (decision makers) dan memilih terhadap apa yang harus diajarkan kepada siapa.


B.     Saran
Demikian makalah ini kami buat, dengan penuh kekurangan dan ketidak sempurnaan mohon kritik dan saran dari ibu dosen Silvianah Nur Faizah, M.PdI agar kami dapat belajar dari ketidak sempurnaan ini dan selanjutnya tidak mengulangi kesalahan yang sama.


























DAFTAR PUSTAKA

Hamid, Hamdani. Pengembangan Kurikulum Pendidikan, Bandung: CV PUSTAKA SETIA. 2012.
Idi, Abdullah. Pengembangan Kurikulum. Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2007.
Imron, Ali. Manajemen Peserta didik. Malang: Universitas Negeri Malang, 2012.
Nasution, S. Asas-asas kurikulum, Jakarta: Bumi Aksara. 2009.
Pusat Kurikulum. Kurikulum tingkat satuan pendidikan, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. 2007.
Sukwadinata, Nana syaudih. Pengembangan Kurikulum, Bandung: Remaja Rosdakarya. 2007
Triwiyanto, Teguh. Manajemen kurikulum dan pembelajaran, Jakarta: PT Bumi Aksara. 2015.



[1] Hamdani Hamid, Pengembangan Kurikulum Pendidikan, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012). 47
[2] Abdullah idi, Pengembangan Kurikulum, (Yogyakarta: Ar Ruzz, 2007). 69
[3] Abdullah idi, Pengembangan Kurikulum. 2007. 70
[4] Abdullah idi. Pengembangan Kurikulum. 2007. 71
[5] Abdullah idi, Pengembangan Kurikulum, 2007. 72
[6] Nana Syaudih Sukwadinata, Pengembangan Kurikulum, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007). 46
[7] Nana Syaudih Sukwadinata, Pengembangan Kurikulum, 2007. 47
[8] Abdullah idi, Pengembangan Kurikulum, 2007. 75
[9] Teguh triwiyanto. Manajemen kurikulum dan pembelajaran. (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2015). 58
[10] Abdullah idi, Pengembangan Kurikulum, 2007. 85
[11] Abdullah idi, Pengembangan Kurikulum, 2007. 86
[12] Abdullah idi. Pengembangan Kurikulum. 2007. 88
[13] Ali Imron. Manajemen Peserta didik. (Malang: Universitas Negeri Malang, 2012). 33
[14] Ali Imron. Manajemen Peserta didik. 2012. 33
[15] S. Nasution. Asas-asas kurikulum. (Jakarta: Bumi Aksara, 2009). 49
[16] S. Nasution, Asas-asas kurikulum, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009). 50
[17] Pusat Kurikulum, Kurikulum tingkat satuan pendidikan, (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2007). 77

Komentar

Postingan populer dari blog ini

kunci bahagiaku

Aku lupa bagaimana rasanya jantung ini bagaikan deburan ombak losari Aku bahkan lupa rasanya kapan terakhir kali mata ini tertunduk malu Dan aku pun lupa bagaimana rasa sebuah kenyamanan. Hingga akhirnya ku temukan dirimu Yang tanpa bertemu namun telah memberikan arti teduh untukku Yang saat bertemu kutemukan jiwa penuh tanggung jawab ada pada dirimu Dan yang saat bersatu kutemukan arti Indah dalam hidupku.. Karna kamu kunci bahagiaku..