LANDASAN KURIKULUM
MAKALAH
Di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah:
Pengembangan Kurikulum
Dosen pengampu: Silviana
Nur Faizah, M.Pd.I
Oleh:
Kelompok 4
Afifatus sa’adah
(151610002)
Dinda lucky novita (151610011)
Rina Luthfianah (151610040)
Sabilla irwina safitri
(151610044)
Semester 3
PROGAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH
IBTIDAIYAH (PGMI)
FAKULTAS
AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM LAMONGAN
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada saya sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya yang berjudul “LANDASAN KURIKULUM”
Maksud dan
tujuan dari penulisan makalah ini
tidaklah lain untuk memenuhi tugas mata kuliah dasar-dasar pendidikan yang di
bina oleh Silviana nur faizah, M.PdI Pada kesempatan ini, penulis juga ingin
menyampaikan ucapan terima kasih kepada Silviana
Nur Faizah, M.PdI selaku dosen yang mengajar mata kuliah Pengembangan Kurikulum
serta semua pihak yang telah membantu penyelesaian makalah ini baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Penulis menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, karena penulis masih dalam tahap
belajar. Oleh
karena itu,
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu penulis
harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Lamongan, 23 Oktober 2017
Penulis
Kelompok 4
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................. ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...................................................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah................................................................................................. 1
C. Tujuan
Penulisan................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Landasan filosofis.......................................................................................... 2
B.
Landasan Sosiologis....................................................................................... 6
C.
Landasan Psikologis....................................................................................... 7
D.
Landasan Organisatoris.................................................................................. 11
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan......................................................................................................... 14
B. Saran.................................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam pengembangan kurikulum, banyak
hal yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan sebelum mengambil suatu
keputusan. Apapun jenis kurikulumnya pasti memerlukan landasan/asas-asas yang
harus dipegang. Asas-asas tersebut cukup kompleks dan tidak jarang memiliki
hal-hal yang bertentangan, karenanya harus menemukan seleksi.
Perkembangan kurikulum dalam suatu
Negara, baik di Negara-negara berkembang, Negara terbelakang dan Negara-negara
maju bisa dipastikan mempunyai perbedaan-perbedaan mendasar namun tetap ada
persamaannya.
Falsafah yang berlainan, bersifat
otoriter, demokrasi, sekuler dan religious, akan memberi warna yang berbeda
dengan kurikulum yang dimiliki oleh bangsa besangkutan. Begitu juga apabila
dilihat dari perbedaan masyarakat, organisasi bahan yang digunakan, dan pilihan
psikologi belajar dalam pengembangan kurikulum tersebut. Lebih lanjut akan
diuraikan empat asas pengembangan kurikulum tersebut dalam makalah berikut ini.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
yang dimaksud landasan filosofis?
2.
Apa
yang dimaksud landasan sosiologis?
3.
Apa
yang dimaksud landasan psikologis?
4.
Apa
yang dimaksud landasan organisatoris?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk
mengetahui landasan filosofis
2.
Untuk
mengetahui landasan sosiologis
3.
Untuk
mengetahui landasan psikologis
4.
Untuk
mengetahui landasan organisatoris
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Landasan Filosofis
Filsafah dalam arti sebenarnya
adalah cinta akan kebenaran, yang merupakan rangkaian dari dua pengertian,
yakni philein (cinta) dan shopia (kebajikan). Dalam batasan
modern, filsafat diartikan sebagai ilmu yang berusaha memahami semua hal yang
muncul didalam keseluruhan lingkup pengalaman manusia, yang berharap agar
manusia dapat mengerti dan mempunyai pandangan menyeluruh dan sistematis mengenai
alam semesta dan tempat manusia di dalamnya. Intinya, manusia merupakan bagian
dari dunia.[1]
Pandangan menyeluruh dan sistematis
yang diharapkan dapat dikuasai oleh manusia adalah lebih dari sekedar
pengetahuan. Barangkali yang dimaksud dengan dikuasai disini adalah pengetahuan
itu sendiri, dan juga menemukan adanya kesalinghubungan dan pertalian semua
unsur hingga pada akhirnya akan ditemukan adanya unsur kebajikan.
Sebagai induk dari semua pengetahuan
(the mother of knowledge), filsafat dapat dirumuskan sebagai kajian
tentang:
1.
Metafisika, yakni studi tentang hakikat kenyataan atau realitas
2.
Epistimologi, yakni studi tentang hakikat pengetahuan
3.
Aksiologi, yakni studi tentang nilai
4.
Etika, yakni studi tentang hakikat kebaikan
5.
Estetika, yakni studi tentang hakikat keindahan
Apabila diamati item-item di atas,
tampak filsafat mempunyai jangkauan kajian yang sangat luas. Bagi para
pengembang kurikulum (curriculum developers) yang memiliki pemahaman
yang kuat tentang rumusan filsafat di atas, kemungkinan akan memberikan daar
yang kuat pula dalam mengambil suatu keputusan yang tepat dan konsisten. Namun,
suatu hal yang perlu diperhatikan oleh pengembang kurikulum adalah, dalam
mengembangkan kurikulum, pengembang tidak hanya menonjolkan atau mementingkan
filsafat pribadinya, tetapi juga perlu mempertimbangkan falsafah yang lain,
antara lain: falsafah Negara, falsafah lembaga pendidikan, dan staf pengajar
atau pendidik.
1.
Falsafah
bangsa
Setiap Negara
di dunia ini, baik Negara berkembang maupun Negara maju, memiliki falsafah atau
pandangan pokok mengenai pendidikan. Setiap individu memiliki pandangan
tertentu mengenai pendidikan. Setiap individu memiliki pandangan tertentu
mengenai pendidikan yang kadang tidak sama dengan pandangan umum. Keberadaan
kurikulum adalah untuk memelihara keutuhan dan persatuan bangsa dan Negara.
Persoalannya, bagaimana berupaya menyatukan beragam pandangan yang ada pada
masyarakat ke dalam satu kerangka pemikiran yang konsisten dalam upaya
menyongkong proses pengembangan kurikulum yang dapat disetujui oleh semua
kalangan.
Agaknya, memang
tidak mudah menciptakan falsafah pendidikan yang dapat di terima semua pihak.
Kondisi masyarakat menyangkut suku, agama, golongan, kepentingan politik
tertentu, akan turut mempengaruhinya. Namun, bagi bangsa Indonesia, persoalan
falsafah pendidikan bukanlah persoalan, mengingat pancasila dan UUD 1945 telah
diterima secara resmi menjadi filsafat dan dasar pendidikan nasional.
Keberadaan filsafat pancasila telah diterima oleh semua pihak, bahkan tidak
bertentangan dengan filsafat pendidikan islam atau filsafat pendidikan (agama)
lain.
Keselarasan
filsafat pendidikan nasional dengan filsafat pendidikan islam terletak pada
tujuan filosofi pendidikan masing-masing. Menurut UU No. 2 Tahun 1989 tentang
system pendidikan nasional, tujuan pendidikan adalah menciptakan manusia
Indonesia yang beriman, bertaqwa, berbudi pekerti luhur, berakhlak,
berketerampilan, bertanggung jawab, kemasyarakatan dan kebangsaan (UUSPN No. 2
Tahun 1989, Bab II Pasal 4). Atau, bertujuan agar potensi agar potensi anak
didik berkembang dan menjadi manusia warga Negara yang demokratis serta
bertanggung jawab (UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3). Kedua UU
sisdiknas itu merumuskan manusia yang didambakan dan ingin di bentuk oleh dan
melalui pendidikan.[3]
Sementara itu,
tujuan filsafat pendidikan islam pada dasarnya sam dengan dasar dan tujuan
agama islam. Filsafat pendidikan islam berisi teori umum tentang pendidikan
islam yang tercantum dalm Al Qur’an dan Al Hadist. Jadi, tujuan filsafat
pendidikan islam adalah mencapai tingkat penciptaan manusia. Tujuan filosofis
pendidikan nasional dan pendidikan islam tidaklah saling bertentangan bahkan
saling mengisi, mengingat tujuan pendidikan nasional sangat mementingkan
persoalan iman, taqwa dan keterampilan sebagaimana halnya dengan tujuan
filosofi pendidikan islam, namun tujuan filosofi pendidikan islam bersifat
hakiki dan mutlak atas keberadaannya.
Dari pemahaman
mengenai dua tujuan (filosofis) pendidikan diatas, dapattlah dimengerti
bahwa dalam menentukan (proses) filsafat pendidikan nasional indonesia
bukanlah hal yang mudah, ternyata masih banyak lagi aspek lain yang perlu
diperhatikan oleh para pengembang (developers), agar keberadaan suatu
kurikulum pendidikan nasional memang betul-betul menjadi milik semua pihak.
2.
Falsafah
lembaga pendidikan
Pancasila
merupakan falsafah nasional yang tegas dan diterima oleh segenap bangsa
Indonesia. Dalam konteks pendidikan, pancasila dijadikan pedoman bagi lembaga
pendidikan untuk mengembangkan falsafah atau pandangan masing-masing sesuai
dengan misi dan tujuan nasional serta nilai-nilai masyarakat yang dilayaninya.
Lembaga pendidikan, sebagai contoh UIN/IAIN, mempunyai misi yang merupakan
bagian dari system pendidikan nasional, namun tiap UIN/IAIN bisa jadi mempunyai
sesuatu yang khas yang ada perbedaannya dengan UIN/IAIN/STAIN di daerah lain.[4]
Falsafah suatu
lembaga pendidikan (Universitas, UIN, IAIN, STAIN, Akademik, maupun sekolah)
jarang dinyatakan secara jelas, spesifik dan ekplisit dalam bentuk tulisan. Ada
juga rumusan falsafah pendidikan yang sangat umum, sehingga dalam memberi arah
yang jelas bagi proses pengembangan kurikulum belum memenuhi sasaran yang
tepat. Dalam kaitannya dengan rumusan tersebut, Nasution mengungkapkan bahwa
dalam merumuskan falsafah lembaga pendidikan secara tertulis, perlu memerlukan
komponen-komponen berikut: a. Alasan nasional mengenai eksistensi lembaga
pendidikan itu, b. prinsip-prinsip pokok yang mendasarinya, c. nilai-nilai dan
prinsip-prinsip yang dijunjung tinggi dan d. prinsip-prinsip pendidikan
mengenai hakikat anak didik, hakikat proses belajar mengajar dan hakikat
pengetahuan.
3.
Falsafah
pendidik
Adanya
pengetahuan tentang falsafah lembaga pendidikan dimana dia betugas menjadi
suatu tuntutan pokok. Keberadaan falsafah membuat seorang pendidik di tuntut
untuk selalu relevan dengan falsafah yang berlaku, sebagaimana di rumuskan
dalam kurikulum yang ditetapkan lembaga pendidikan itu.
Dalam
operasional kurikulum, peran pendidik memang sangat penting ia selalu terlibat
dan karenanya peran falsafahnya dalam perencanaan, pengorganisasian dan
penyampaian pelajaran merupakan suatu hal yang menentukan tercapainya tujuan
pendidikan yang dirumuskan dalam kurikulum sekolah bersangkutan akan sangat
tidak berarti suatu kurikulum yang baik jika pendidik memiliki falsafah yang
berbeda dalam memahami, menafsirkan dan melaksanakan kurikulum tersebut. Jadi,
dalam konteks operasional kurikulum, pendidik merupakan pemegang peran utama.
Keberadaan
falsafah seorang pendidik memang sangat berpengaruh terhadap proses belajar
oleh karenanya, seorang pendidik mesti professional. Pendidik professional
secara emplisit selalu menempatkan dirinya untuk menerima dan memikul sebagian
tanggung jawab pendidikan yang dipikul orang tua, dan orang tua pun sangat
mengharapkan anaknya untuk memiliki pendidikan yang baik dan professional. Nabi
bersabda “Barang siapa yang ditanya tentang ilmu kemudian menyimpan ilmunya
tidak mau mengerjakan, maka Allah akan mengekang dia dengan kekangan api neraka
pada hari kiamat”. (Al Hadist). Keberhasilan anak didik menerima ilmu
pengetahuan dan perubahan tingkah laku yang diharapkan orang tua, masyarakat,
dan bangsa sangat ditentukan oleh falsafah pendidik terhadap profesinya. Karena
itu, dimensi filsafat perlu memperoleh perhatian serius dalam wacana pendidikan
nasional.[5]
B.
Landasan Sosiologis
Landasan sosiologi mempunyai peran
penting dalam mengembangkan kurikulum pendidikan pada masyarakat dan bangsa di
muka bumi ini. Suatu kurikulum pada prinsipnya mencerminkan keinginan,
cita-cita tertentu dan kebutuhan masyarakat. Karena itu, sudah sewajarnya kalau
pendidikan memerhatikan aspirasi masyarakat, dan pendidikan mesti memberi
jawaban atas tekanan-tekanan yang datang dari kekuatan sosio-politik-ekonomi
yang dominan. Berbagai kesukaran juga akan muncul apabila kelompok-kelompok
sosial dalam masyarakat, seperti: militer, politik, agama, industri,
pemerintah, swasta, ekonomi, dan lain-lain, mengajukan keinginan yang
bertentangan dengan kepentingan kelompok masing-masing. Akhirnya, sangat
mungkin muncul tekanan dari sumber eksternal, dari negara lain (terutama negara
maju), organisasi internal, dan lain-lain. Karena pada dasarnya persoalan
pendidikan mempunyai keterkaitan dengan aspek lain: politik, ekonomi dan
lain-lain.
Dari sudut pandang sosiologis, dalam
sistem pendidikan serta lembaga-lembaga pendidikan terdapat bahan yang memiliki
beragam fungsi bagi kepentingan masyarakat yakni:
1.
Mengadakan
revisi dan perubahan sosial
2.
Mendukung
dan turut memberi kontribusi kepada pembangunan
3.
Membimbing
dan mendisiplinkan jalan pemikiran generasi muda
4.
Mendorong
dan mempercepat laju kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
5.
Mendidik
generasi muda agar menjadi warga negara nasional dan warga dunia
6.
Mengajarkan
ketrampilan pokok, misalnya membaca, menulis, dan berhitung
7.
Memberikan
ketrampilan yang berhubungan dengan mata pencaharian[6]
Banyak lagi aspek-aspek lain yang
turut memberikan pengaruh mengenai apa yang harus dimasukkan ke dalam
kurikulum, yakni yang menjadi kebutuhan masyarakat (the need of society),
antara lain:
1.
Interaksi
yang kompleks antara kekuatan-kekuatan sosial, politik, ekonomi, militer,
industri, dan kultural dengan masyarakat
2.
Berbagai
kekuatan dominan, sebagaimana diungkapkan di atas, di bagian dunia lainnya yang
erat hubungannya dengan negara bersangkutan
3.
Pribadi
pimpinan dan yokoh-tokoh yang memegang kekuatan formal dan informal di berbagai
lapisan masyarakat.
Berkaitan dengan hal-hal di atas,
para pengembang (developers) kurikulum, memiliki tugas atau tanggung
jawab untuk:
1.
Mempelajari
dan memahami kebutuhan masyarakat sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang,
peraturan, keputusan, pemerintah, dan lain-lain
2.
Menganalisis
masyarakat di mana sekolah berada
3.
Menganalisis
syarat dan tuntutan terhadap tenaga kerja
4.
Menginterpretasi
kebutuhan individu dalam ruang lingkup kepentingan masyarakat.[7]
Sangat banyak kebutuhan masyarakat
yang perlu dipilah-pilah, disaring, dan diseleksi. Agar kebutuhan itu menjadi
suatu keputusan dalam pengembangan kurikulum, maka tugas pengembang kurikulum
pun sangat kompleks. Menurut Abu Ahamdi dan Nur Uhbiyati (1991: 225) , kompleksnya
kehidupanm dalam masyarakat disebabkan karena:
1.
Dalam
masyarakat terdapat tata kehidupan yang beraneka ragam
2.
Kepentingan
antar-individu berbeda-beda
3.
Masyarakat
selalu mengalami perubahan dan perkembangan
Kurikulum sedapat mungkin dibangun
dan dikembangkan dengan tetap merujuk pada asas kemasyarakatan sekaligus dengan
kebutuhan masyarakat.[8]
C. Landasan
Psikologis
Kontribusi psikologi terhadap studi kurikulum
memiliki dua bentuk. Pertama, model konseptual dan informasi yang akan
membangun perencanaan pendidikan. Kedua, berisikan berbagai metodelogi
yang dapat diadaptasi untuk penelitian pendidikan.(Meggi Ing 1978:29). Definisi
kurikulum menurut Kerr (1968) adalah: as all the learning which is planned and
guided by the school. Karenanya, sejak awal definisi tentang kurikulum sudah
bersifat luas, yang mencakup individu anak didik, antar individu, kelompok dan
lain lain. Kemudian kerr juga membagikan kurikulum kedalam empat bagian, yakni:
curriculum objectives, knowledge, learning, experiences, and curriculum
evaluation dan gambar berikut menunjukan pembagian tersebut
CURRICULUM
OBJECTIVES
![]() |




EVALUATION
Gambar.
Aspek kurikulum menurut Kerr
Bila diperhatikan gambar diatas, tampaknya pembagian
tersebut tidak selalu jelas dalam praktiknya, tetapi memberikan suatu kerangka
kerja diskusi. Teknik- teknik kerangka tujuan mengarah pada evaluasi yang
akurat secara luas berasal dari psychological methodology. Bentuk filosofis dan
sosiologis lebih mengarah pada penentuan tujuan akhir (the end-product)
yang diharapkan bagi anak didik dalam kurikulum itu. Pengetahuan psikologis
akan membantu pengembang kurikulum untuk lebih realistic dalam memilih tujuan,
tetapi tidak akan menentukan tujuan apa yang seharusnya.
Dalam memilih pengalaman belajar
yang akurat, psokologi secara umum sangat membantu. Teori – teori belajar,
teori kognitif, pengembangan emosional, dinamika group, perbedaan kemampuan
individu, kepribadian, model formasi sikap dan perubahan, dan mengetahui
motivasi, semuanya sangat relevan dalam merencanakan pengalaman pendidikan
(eduacational experience). [9]
Ketika berusaha mengiluminasi proses
pikiran anak didik, ada bebrapa pertimbangan atas hakikat ilmu pengetahuan.[10]
1. Teori-teori
belajar
Untuk
merencanakan suatu kurikulum, sangat penting memiliki teori bagaimana
pembelajaran ditentukan dan bagaimana kondisi pembelajaran menjadi pembelajaran
yang lebih efisien. Berbagai teori psikologi tentang cara belajar, setidaknya
secara eksplisit, membuat petunjuk –petunjuk akurat bagi para pendidik untuk
dipratikan ke anak didik.
Dalam
tradisi ilmiah, pencarian teori digunakan untuk menjelaskan jumlah maksimum
fenomena-fenomena dengan jumlah minimal peraturan-peraturan, dan itu merupakan
tugas khusus yang sulit dalam menghadapi kompleksitas kesadaran dan tingkah
laku manusia. Sebagai pendidik, kita tidak memerhatikan dengan apa sesungguhnya
belajar itu, dan kita itu memerhatikan perbedaan diantara anak didik dan juga
persamannya. Kita berharap bisa mendapatkan teori-teori psikologi yang membantu
kita sebagai pendidik meski tidak secara langsung.
a. Behaviorisme
Prinsip
utama aliran behaviorisme adalah berdasarkan unit belajar. Dalam kondisi kelas,
yang dipelopori oleh Pavlov, respons dalam pertanyaan bersifat reflektif, yang
mana dalam pekerjaan thorndike dan kemudian skinner, respon tersebut lebih
kompleks. Sangatlah cocok dalam laboratorium untuk mencoba mengisolasi “respon
tunggal” (single) dan stimuli agar dapat mempelajari hubungan diantara
keduannya (meskipun studi semacam ini lebih kompleks dan lebih banyak di text
book awal saat studi itu muncul) serta menggunakan organism yang berkapabilitas
tidak kurang dari kapabilitas pendidik. Namun dalam mengajar, pendidik
dihadapkan dengan jumlah stimulus yang kompleks, simultan, dan tidak dapat
diprediksi, sehingga untuk memikirkan suatu kondisi sebagai basis belajar
menjadi sesuatu yang terbatas sebagai kita, khususnya ketika kita memerhatikan
kesadaran pendidik maupun anak didik.[11]
Dalam
program belajar rasional, yang biasanya terwujud dalam program kurikulum
bahasa, matematika dan juga membaca. Pendekatan serupa juga digunakan untuk
menghindari goncangan pemikiran individu anak didik. Goncangan tersebut bisa
berbentuk unit belajar yang bisa menjadi bagian terpisah dengan anak didik atau
juga bagian dari unit yang lebih besar yang ia peroleh. Contoh: nama anak didik
ini sering menjadi sebuah unit bagi dia, meskipun huruf-huruf yang sama dengan
kata lain masih terpisah dalam bentuk bagian-bagian atau potongan. Seorang
behavioris melihat anak didik sebagai organisme yang merespon stimulus dari
dunia sekitarnya.
2. Teori
gestalt (teori lapangan)
Kata gestalt tidak sama dengan yang ada dalam
istilah bahasa inggris. Gestalt mempunyai arti pattern atau configuration.
Awalnya teori presespsi dikembangkan untuk pembelajaran, khususnya untuk
pemecahan masalah (problem solving). Gambaran umumnya adalah bahwa bentuk itu
menggambarkan perhatian pembawaan lahir dan mempelajari pengaturan proses yang
kita miliki, ketimbang kondisi respon yang bersifat eksternal.
Teori
gestalt sangat mementingkan anak didik dalam proses belajar mengajar. Individu
merupakan sentral dalam proses belajar bukan sekedar akumulasi ilmu
pengetahuan, yakni menambah suatu segmen pengetahuan kepada pengetahuan yang
telah ada.
3. Teori
psikologi daya
Penganut
teori psikologi daya berpandangan bahwa belajar merupakan mendisiplinkan dan
menguatkan daya mental, terutama daya piker, melalui latihan mental yang ketat,
dapat dicontohkan bahwa jika otak telah dikembangan melalui studi matematika
klasik dan humaniora anak didik akan mampu berpikir rasional sehingga memudahkan
proses belajar pada bidang studi yang lain. Jadi , yang menjadi focus utama
ialah cara mempelajari materi pelajaran yang sulit, seperti matematika dan
bahasa klasik, agar mendisiplinkan dan mengembangkan proses mental.
4. Teori
pengembangan kognitif
Menurut
teori ini, kematangan mental tumbuh secara bertahap pada anak didik sebagai
follow-up dari interaksinya dengan lingkungan. Anak didik mesti dibimbing
dengan teliti bahan belajarnya harus seimbang dengan tingkat perkembangan
kognitifnya, dan perlu didorong agar mereka maju kearah tingkat perkembangan
selanjutnya.[12]
Ada
empat tahap dalam perkembangan kognitif intelektual,yaitu:[13]
1. Tahap
Senso maxoris (0-2)
Bayi mulai mengenal
lingkungan sekitarnya dengan alat indranya (penglihatan, pendengaran, penciuman,
pengecapan, dan peradaban).
2. Tahap
pra-operasional (2-6)
Lingkungan dikenalnya
melalui lambang (warna, bentuk, gambar, dll)
3. Tahap
operasional konkret (6-12)
Logika mulai
berkembang. Kesimpulan yang diambil berdasarkan logika ketimbang persepsi sederhana
4. Tahap
operasional format (12 tahun keatas)
Sanggup berpikir
abstrak, serta mulai membentuk hipotesis bdan menguji sesuatu dengan eksperimen
dalam proses belajar maupun dalam krhidupan sehari-hari.[14]
D.
Landasan Organisatoris
Herbert Spencer, lebih seperempat
abad yang lalu, pernah menyatakan bahwa: What knowledge is of most morth
(pengetahuan apa yang paling bernilai)? Pengetahuan yang bernilai itu akan
berarti bila mampu menentukan bahan yang serasi dengan anak didik, setelah
melalui proses penyeleksian dari bahan pengetahuan sangat luas yang berkembang
dari waktu ke waktu secara pesat.
Keadaan masyarakat senantiasa
berubah dan mengalami kemajuan pesat, sehingga tentu akan memberi beban baru
bagi pengembang kurikulum (curriculum developers), yang berperan sebagai
pembuat keputusan (decision makers) dan memilih terhadap apa yang harus
diajarkan kepada siapa. Dalam hubungan ini, Nasution menyatakan bahwa ada 2
masalah pokokyang harus dipertimbangkan, yakni:
1.
Pengetahuan
apa yang paling berharga untuk diberikan bagi anak didik dalam suatu buidang
studi
2.
Bagaimana
mengorganisasi bahan itu agar anak didik dapat menguasainya dengan
sebaik-baiknya.
Kalau diperhatikan secara seksama,
yang paling berwenang memecahkan masalah adalah para spesialis dalam disiplin
ilmu bersangkutan, dengan persyaratan para spesialis itu selalu mengikuti
perkembangan ilmunya, dan tentunya harus memahami asas filosofis, sosiologis,
dan psikologis dalam mengambil keputusan. [15]
Sementara itu, para pengembang
kurikulum mempunyai tugas untuk membantu mereka (para spesialis) agar memahami
sepenuhnya akan tugas mereka dalam menentukan pengetahuan paling berharga
tersebut. Pendekatan yang paling baik kemungkinan adalah dengan membentuk tim
yang diketahui ahli pengembang kurikulum yang juga memiliki pengetahuan yang
memadai mengenai bidang studi tersebut.[16]
Kemudian, masalah selanjutnya adalah
tentang organisasi bahan yang juga tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan.
Nasution mengemukakan bahwa ada bermacam cara dalam mengoganisasikan bahan bagi
keperluan pengajaran. Salah satu caranya adalah dengan mengorganisasikan bahan
berdasarkan topik, tema, kronologi, konsep, isu, logika, dan proses disiplin.
Agar lebih jelas dapat dilihat contoh berikut:
No
|
Organisasi bahan berdasarkan
|
Contoh
|
1
|
Topik (biasanya digabungkan dengan salah satu pendekatan lainnya atau
dibagi dalam sejumlah sub topik)
|
Perang kemerdekaan
|
2
|
Tema
|
Sebab-sebab perang kemerdekaan
|
3
|
Kronologi
|
Tahap-tahap perang kemerdekaan
|
4
|
Konsep
|
Kemerdekaan
|
5
|
Isu
|
Pengaruh perang kemerdekaan terhadap watak bangsa indonesia
|
6
|
Logika
|
Analisis peristiwa-peristiwa yang mengandung atau mengahambat tercapainya
pengakuan de jure atas kemerdekaan Indonesia.
|
7
|
Proses disiplin
|
Pandangan tentang perang
kemerdekaan oleh ahli sejarah Indonesia? Ahli sejarah Belanda? Amerika
Serikat? Proses dan instrumen apakah yang digunaka? Dan lain-lain.
|
Disamping pendekatan organisasi,
bahan pelajaran yang dipilih dengan serasi tersebut mempunyai tujuan dan
sasaran kurikulum yang pada dasarnya disusun dari yang sederhana kepada yang
kompleks, dari yang kongkret kepada yang abstrak, dan dari yang ranah (domain)
tingkat rendah kepada yang lebih tinggi, kognitif, afektif, maupun
psikomotorik.
Sebagai konklusi
dari uraian asas organisatoris tersebut, ada 3 hal utama yang perlu
diperhatikan, yakni:
1.
Tujuan
bahan pembelajaran
Mengajarkan keterampilan untuk masa sekarang atau mengerjakan
keterampilan untuk keperluan masa depan, untuk membantu siswa dalam memecahkan
masalah, untuk mengembangkan nilai-nilai, untuk mengembangkan ciri ilmiah,
untuk memupuk jiwa warga negara yang baik.
2.
Sasaran
bahan pelajaran
Siapakah pelajar itu, apakah latar belakang pendidikan dan
pengalannya, sampai dimanakah tingkat perkembangannya, bagaimanakah profil kepribadian
dan motivasinya.
3.
Pengorganisasian
bahan
Bagaimana
bahan pelajaran diorganisasi: apakah berdasarkan topik, konsep, kronologi, dan
lain-lain.
Pemahaman mengenai asas-asas tersebut bagi para pengembang
kurikulum sangat penting dalam menghasilkan suatu kurikulum sangat penting
dalam menghasilkan suatu kurikulum yang diharapkan. Karenanya, menurut
Adiwikarta (1994: 101), mereka (para pengembang dan pelaksana kurikulum) perlu
memerhatikan 3 kecenderungan, yakni: kekinian dan kedisinian, kemasa-depanan, dan
kepentingan satuan pendidikan. Pertanyaan yang memerlukan jawaban bagi sitem
pendidikan suatu bangsa adalah bagaimana mengembangkan dan melaksanakan
kurikulum agar kepentingan nasional, keadaan dan kebutuhan lingkungan, ciri
khas satuan pendidikan, serta kepentingan masa depan anak didik dan masyarakat
dapat dipenuhi.[17]
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Sebagai
induk dari semua pengetahuan (the mother of knowledge), filsafat dapat
dirumuskan sebagai kajian tentang: Metafisika, Epistimologi, Aksiologi,
Etika, Estetika, dan Logika. Namun, suatu hal yang perlu
diperhatikan oleh pengembang kurikulum adalah, dalam mengembangkan kurikulum,
pengembang tidak hanya menonjolkan atau mementingkan filsafat pribadinya,
tetapi juga perlu mempertimbangkan falsafah yang lain, antara lain: falsafah
Negara, falsafah lembaga pendidikan, dan staf pengajar atau pendidik.
Asas sosiologi
mempunyai peran penting dalam mengembangkan kurikulum pendidikan pada
masyarakat dan bangsa di muka bumi ini. Suatu kurikulum pada prinsipnya mencerminkan
keinginan, cita-cita tertentu dan kebutuhan masyarakat. Karena itu, sudah
sewajarnya kalau pendidikan memerhatikan aspirasi masyarakat, dan pendidikan
mesti memberi jawaban atas tekanan-tekanan yang datang dari kekuatan
sosio-politik-ekonomi yang dominan.
Kontribusi psikologi terhadap studi
kurikulum memiliki dua bentuk. Pertama, model konseptual dan informasi
yang akan membangun perencanaan pendidikan. Kedua, berisikan berbagai
metodelogi yang dapat diadaptasi untuk penelitian pendidikan. Definisi tentang
kurikulum bersifat luas, mencakup individu anak didik, antar individu, kelompok
dan lain lain. Kemudian kerr juga membagikan kurikulum kedalam empat bagian,
yakni: curriculum objectives, knowledge, learning, experiences, and
curriculum evaluation.
Keadaan
masyarakat senantiasa berubah dan mengalami kemajuan pesat, sehingga tentu akan
memberi beban baru bagi pengembang kurikulum (curriculum developers),
yang berperan sebagai pembuat keputusan (decision makers) dan memilih
terhadap apa yang harus diajarkan kepada siapa.
B.
Saran
Demikian
makalah ini kami buat, dengan penuh kekurangan dan ketidak sempurnaan mohon
kritik dan saran dari ibu dosen Silvianah Nur Faizah, M.PdI agar kami dapat
belajar dari ketidak sempurnaan ini dan selanjutnya tidak mengulangi kesalahan
yang sama.
DAFTAR
PUSTAKA
Hamid,
Hamdani. Pengembangan Kurikulum Pendidikan, Bandung: CV PUSTAKA SETIA.
2012.
Idi,
Abdullah. Pengembangan Kurikulum. Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2007.
Imron,
Ali. Manajemen Peserta didik. Malang: Universitas Negeri Malang, 2012.
Nasution,
S. Asas-asas kurikulum, Jakarta: Bumi Aksara. 2009.
Pusat
Kurikulum. Kurikulum tingkat satuan pendidikan, Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional. 2007.
Sukwadinata,
Nana syaudih. Pengembangan Kurikulum, Bandung: Remaja Rosdakarya. 2007
Triwiyanto,
Teguh. Manajemen kurikulum dan pembelajaran, Jakarta: PT Bumi Aksara.
2015.
[1] Hamdani Hamid, Pengembangan Kurikulum
Pendidikan, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012). 47
[2] Abdullah idi, Pengembangan
Kurikulum, (Yogyakarta: Ar Ruzz, 2007). 69
[3] Abdullah idi, Pengembangan
Kurikulum. 2007. 70
[4] Abdullah idi. Pengembangan
Kurikulum. 2007. 71
[5] Abdullah idi, Pengembangan
Kurikulum, 2007. 72
[8] Abdullah idi, Pengembangan
Kurikulum, 2007. 75
[9] Teguh triwiyanto. Manajemen
kurikulum dan pembelajaran. (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2015). 58
[10] Abdullah idi, Pengembangan
Kurikulum, 2007. 85
[11] Abdullah idi, Pengembangan
Kurikulum, 2007. 86
[12] Abdullah idi. Pengembangan
Kurikulum. 2007. 88
[13] Ali Imron. Manajemen Peserta didik.
(Malang: Universitas Negeri Malang, 2012). 33
[14] Ali Imron. Manajemen Peserta
didik. 2012. 33
[15] S. Nasution. Asas-asas
kurikulum. (Jakarta: Bumi Aksara, 2009). 49
[16] S. Nasution, Asas-asas
kurikulum, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009). 50
[17] Pusat Kurikulum, Kurikulum
tingkat satuan pendidikan, (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2007).
77
Komentar
Posting Komentar